Kata
Pengantar
Puji syukut kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesempatan serta pengetahuan sehingga makalah yang mengangkat tema “Pemikiran
Teologi Khawarij dan Murji’ah” ini sekiranya dapat
terselesaikan pada waktunya.
Shalawat serta salam tentunya kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW
yang telah menuntun umatnya dari zaman kejahiliyaan ke zaman modernisasai seperti saat ini. Berkat
beliau jugalah secara tidak langsung makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini merupakan rangkaian tugas dalam pelaksanaan diskusi kelas yang
bertujuan untuk memajukan pengetahuan peserta tentang makalah ini. Oleh
karenanya, maka penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak Universitas teruntuk dosen
pembimbing atas motivasi, dukungan, serta anjurannya untuk pembuatan
makalah ini. Semoga hal tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT .
Terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada pembaca yang
sekiranya telah meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini seraya memajukan
selangkah lagi pengetahuan tentang isi makalah
ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan
sedikit informasi sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Untuk itu
penulis menerima dengan baik segala kritik dan saran. Akhir kata penulis
memohon maaf apabila ada kata – kata yang tidak berkenan. Terima kasih.
Daftar
Isi
Kata
Pengantar………………………………………………………………………… i
Daftar
Isi………………………………………………………………………………. ii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1
A.
Latar Belakang………………………………………………………………… 1
B.
Rumusan Masalah……………………………………………………………… 1
C.
Tujuan
Penulisan………………………………………………………………. 1
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………….... 1
A.
Nice Point……………………………………………………………………… 2
B.
Khawarij………………………………………………………………………. 2
1. Latar
belakang Khawarij…………………………………………………. 2
2. Doktrin
Khawarij…………………….……………………………………. 3
3. Tokoh
Khawarij…………………………………………………………... 4
4. Perkembangan
Khawarij….……………………………………………… 4
C.
Murji’ah………………………………………………………………………. 5
1. Latar
belakan Murji’ah..………………………………………………… 5
2. Doktrin
Murjiah…………………….……………………………………. 6
3. Status
dosa menurut Murji’ah……………………………………………. 6
4. Tokoh
Murji’ah…………………………………………………………... 7
5. Perkembangan
Murji’ah …………………………………………………. 5
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………. 9
A.
Kesimpulan……………………………………………………………………… 9
B.
Daftar Pustaka…………………………………………………………………… 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mu’tazilah adalah
salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan
liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam
lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh
dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering
disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada
tahun 100 H/718 M.
Mu’tazilah
merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem
teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah,
Mu’tazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan
metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah
Tuhan, alam dan manusia.
Syi’ah dalam
sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik
dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah
satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang
berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah
berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah
keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus
dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.
Syi’ah muncul
sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya
peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran
teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir
dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolok
ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan
wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan latar belakang
kemunculan Mu’tazilah dan Syi’ah?
2. Apa pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah
dan Syi’ah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan sejarah
perkembangan aliran Mu’tazilah dan Syi’ah
2. Untuk mengetahui pokok-pokok dasar
Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mu’tazilah
1. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran
Mu’tazilah
Perkataan
Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud "meninggalkan",
"menjauhkan diri". Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya,
biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan
Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa
besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggap munafiq sekaligus fasiq,
sehingga ia harus dikeluarkan dari kemunitas masyarakat muslim. Sementara itu,
menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq. Ia berada di antara “manzil
baina manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir).
Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk
halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “Intazala anna
Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul
istilah Mu’tazilah, orang-orang yang memisahkan diri .
Akan tetapi, dalam
tradisi Mu’tazilah sendiri, Hasan Basri dianggap sebagai salah satu tokoh
mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar dan Ali
dimasukkan dalam tokoh mereka juga . Selain itu, hubungan Hasan Basri dan
Washil ibn Atha tidak terputus, sampai kematian memisahkan mereka. Bahkan,
Washil masih sering terlihat bepergian bersama gurunya dalam berbagai
perjalanan . Ini membuat orang bertanya mengenai kebenaran cerita di atas.
Sementara itu,
menurut Montgomery Watt, pemikiran utama Mu’tazilah sesungguhnya diberikan oleh
Mu’ammar (Makmar). Nama Washil ibn Atha, Amr ibn Ubaid, Abu Hudzail dan
lainnya, hanyalah orang-orang yang ditokohkan oleh Mu’tazilah ketika mereka
memerlukan figur panutan. Selanjutnya, ketika figur Washil dianggap lebih baik
dan disukai, maka ia kemudian dianggap sebagai pendirinya.
Meski demikian,
tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan Muammar atau Makmar oleh Watt.
Hanya saja, menurutnya, Mu’tazilah lahir karena pengaruh pemikiran Yunani. Ia
berusaha menggabungkan dogma-dogma Islam dengan filsafat pemikiran Yunani kuno.
Akan tetapi, pernyataan Watt ini juga rancu dan sulit dibuktikan. Sebab,
kenyataannya, Mu’tazilah telah lebih dahulu mapan sebelum filsafat Yunani masuk
ke dalam Islam lewat terjemahan.
Perhatian pada
pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu, cabang
Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan
penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan
dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini dibanding dengan
cabang Basrah lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya
banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para
pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.
Di antara para
khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong perkembangan
Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan
karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran
ini dalam bidang teori, walau perkembangan Mu’tazilah sendiri tidak semata-mata
hasil dorongan khalifah Makmun. Di sisi lain, secara politis, al-Makmun
menggunakan paham Mu’tazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para
bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu, pengujian atas para
hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran
Mu’tazilah. Yang tidak percaya dipecat.
Kalangan Mu’tazilah
berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain Allah. Kepercayaan akan adanya
dzat yang qadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menduduki jabatan hakim
harus bebas dari syirik. Bila sudah terlanjur, mereka harus diturunkan. Mihnah
ini dalam perkembangan tidak hanya diterapkan pada para hakim, tetapi juga para
saksi di pengadilan, dan kemudian para pemimpin masyarakat.
Kebijaksanaan
al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras
oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar
Mu’tazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini . Ia adalah
kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan
Yahya ibn Aksam pada tahun 832. Jabatan
tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al- Wasiq.
Meninggalnya
al-Wasiq menandai kejatuhan Mu’tazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861),
lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada
masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah
tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti memberikan angin segar
kepada lawan-lawan Mu’tazilah, terutama ahli Al-hadits, ahli fiqh dan Syiah,
untuk balik menjatuhkannya.
Namun, dalam tubuh
Mu’tazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al- Jubai dan anaknya, Abu Hasyim.
Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan Mu’tazilah. Sudah tentu,
ini sesuatu yang sangat sulit. Kenyataanya, hanya aliran Basrah yang dapat
bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat dengan kekuasaan, harus turun dari
panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha kedua tokoh tersebut bisa dikatakan
berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri justru tampil seorang lawan baru;
Abu al-Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri aliran Asy’ariyah, sehingga
beberapa saat lamanya, Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan.
Pada masa-masa
berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad keempat Hijriyah), Mu’tazilah
bangkit kembali, terutama di wilayah Parsia. Ia bergandengan dengan Syiah. Saat
itu, banyak muncul pemikiran Mu’tazilah dari aliran Basrah, walau diakui tidak
sebesar para pendahulunya. Mereka meninggalkan banyak karya yang masih bisa
kita lihat sampai sekarang.
2. Pola Pemikiran dan Doktrin Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah
pada dasarnya memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Hal ini di
antaranya disebabkan banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani yang membawa
pemujaan akal ke dalam pemikiran islam. kaum mu’tazilah banyak dipengaruhi hal
ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teoplogi mereka banyak
dipengaruhi oleh daya akal dan teologi mereka memiliki cortak liberal.
Diatara doktrin
mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang
dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Khamsah”. (1)
Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di
antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah
perbuatan jahat.
a. Keesaan Tuhan.
Prinsip ini
didefinisikan sebagai Allah Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya
dalam sifat-sifat yang menjadi haknya; baik dalam penegasian maupun
penetapan. Penetapan ini terkait dengan
pemahaman Mu’tazilah mengenai sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu
dinisbatkan kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal
yang bisa menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain dzat
Allah.
b. Keadilan Tuhan.
Prinsip ini
didefinisikan bahwa semua perbuatan- Nya adalah baik. Dia tidak mungkin
melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apapun
yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh
Mu’tazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘I’tizal’ kecuali ia berpegang
pada keseluruhan dari lima prinsip Mu’tazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji
dan ancaman, posisi diantara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika
kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Mu’tazilah”.
1) Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan
kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2) Allah tidak menyiksa anak-anak orang
musyrik, karena dosa orang tuanya.
3) Allah tidak memberikan mukjizat kepada
orang-orang yang banyak berdusta.
4) Allah tidak membebani hamba-Nya dengan
sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami).
Sebaliknya. Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan beban yang diberikan, membuat
mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada
mereka. Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan,
adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan. Yaitu, karena ketaatan
dan kelalaian mereka sendiri.
5) Allah pasti memberikan balasan yang baik
kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
6) Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah
atas orang mukalaf, adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak,
maka Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya.
7) Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik
daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu .
c. Janji dan ancaman.
Didefinisikan bahwa
Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam
untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji dan
ancaman-Nya itu; tidak mungkin terjadi kedustaan dalam janji-Nya. Bila Dia
berdusta akan janji- Nya sendiri, berarti firman-Nya tidak dapat dipegangi
(tidak dapat dipercaya).
d. Posisi di antara dua posisi.
Didefisinikan,
bahwa pelaku dosa besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara
dua nama dan menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq. Ia tidak dihukumi kafir, karena kenyataanya
ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan melakukan perkawinan,
pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun, tidak bisa pula dihukumi
sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah melakukan dosa besar.
Karena perbuatannya, sebagaimana dinyatakan dalam Ijma, ia tidak pantas
dihormati, dipuji dan ditolong demi Allah, sebagaimana yang mesti dilakukan
terhadap seorang mukmin.
e. Amar makruf nahi munkar.
Dalam hal ini
diperlukan syarat-syarat, antara lain;
1) Pengetahuan yang pasti bahwa yang
diperintahkan adalah sesuatu yang baik dan yang dicegah adalah sesuatu yang
jelek.
2) Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa
perbuatan yang tidak baik tersebut telah benar-benar ada atau telah terjadi.
Misalnya, telah tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan
lainnya.
3) Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa
pencegahan tersebut tidak --bakal menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Misalnya, kalau dilakukan pencegahan minuman keras bakal menimbulkan huru-hara
atau pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib
dilakukan.
4) Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa
tindakannya itu akan menimbulkan pengaruh. Kalau sadar bahwa kata-katanya tidak
bakal menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
5) Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa
tindakannya tidak bakal menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya.
3. Tentang Lutf
Apakah Tuhan
berkewajiban untuk melakukan sesuatu? Pertanyaan ini telah melahirkan
kontroversi dikalangan ahli kalam. Penyataan bahwa Tuhan harus melakukan
sesuatu atas hamba-hamba-Nya merupakan sesuatu yang sangat absurd dikalangan
muslim tradisional Sunni. Sebaliknya, bagi kaum Mu’tazilah, Tuhan memiliki
kewajiban terhadap manusia. Di antara kewajiban tersebut, Tuhan wajib melakukan
sesuatu yang baik, bahkan terbaik kepada manusia. Tuhan wajib menepati
janji-janji-Nya, mengutus para Rasul, memberi rizki kepada mahluk- Nya dan
lain-lain .
Konsep Lutf, Shalah
wa al-Ashlah, keduanya adalah pelebaran paham Mu’tazilah tentang keadilan
Tuhan. Di dalamnya terkandung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
pertanyaan di atas.
Lutf, bentuk masdar
“la-tha-fa” berarti menolong, menyantuni, kehalusan, keramahan dan kelembutan. Allah
disebut “latif”, karena Dia Maha Penolong, Maha Halus dan Penyantun para
hamba-Nya. Dalam istilah kalam
Mu’tazilah, lutf adalah sesuatu yang membuat manusia mampu memilih untuk
berperilaku mukmin, yang tanpanya manusia dapat terjerumus dalam tindakan
sebaliknya .
Akan tetapi, konsep
lutf ini bukan berarti menghilangkan makna kebebasan manusia, konsep utama
dalam faham Mu’tazilah. Menurut Abd Jabbar, lutf yang diberikan Tuhan kepada
mukallaf bukan sebagai balasan, melainkan sebagai konsekuansi-Nya atas adanya
pembebanan pada manusia. Dan lutf inipun
hanya diberikan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang yang dinilai punya
potensi atau kecenderungan untuk beriman. Lutf tidak mungkin diberikan kepada
orang-orang yang ingkar, sebagaimana yang dikatakan dalam al- Qur’an,
“Sekiranya Allah
mengetahui kebaikan ada pada mereka, maka Allah akan menjadikan mereka dapat
mendengar....” (Al-Anfal, 23).
Abd Jabbar membagi
lutf dalam tiga kategori;
1. Lutf yang berhubungan dengan perbuatan
Tuhan.
2. Lutf yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf.
3. Lutf yang berhubungan dengan selain
perbuatan Tuhan dan manusia.
Lutf yang
berhubungan dengan Allah, menurut Basyar ibn Muktamar, tidak merupakan
kewajiban. Artinya, Tuhan tidak berkewajiban membuat atau memberikan lutf
kepada semua manusia. Sebab, bila lutf tersebut merupakan kewajiban bagi Allah,
maka di dunia ini tentu tidak ada kejahatan. Padahal, kenyataannya kejahatan
masih banyak dan merajalela. Selain itu, kemungkinan manusia untuk berbuat;
baik dan buruk, menjadi tidak mempunyai makna. Begitu pula tentang balasan
surga dan neraka.
Lutf yang
berhubungan dengan perbuatan manusia ada dua macam. Yang diaktifkan untuk
menghilangkan kemudaratan, maka ini hukumnya wajib. Sedang lutf yang digunakan
untuk aktifitas sunnah, maka tidak wajib.
Lutf yang tidak
berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan tidak berkaitan dengan perbuatan manusia
mukallaf, juga ada dua. Yakni, lutf yang berhubungan dengan hukum kebiasaan,
dan lutf yang berhubungan dengan perbuatan yang -- diketahui-- tidak biasa
berlaku. Untuk kondisi pertama, adanya lutf dianggap baik, sedang pada kondisi
kedua, tidak baik bahkan jelek.
4. Tentang Shalah wa Al-Ashlah.
Kata “shalah”,
masdar kata “sha-la-ha” berarti baik, lawan kata buruk. Sedang “aslah” adalah
isim tafdhil, yang bermakna “terbaik”. Istilah “Shalah wa al-Aslah” sebagaimana
yang digunakan kaum Mu’tazilah, adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk
memberikan sesuatu yang terbaik bagi para hamba-Nya.
Konsep ini
didasarkan atas paham Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki
kejahatan pada manusia. Sebaliknya, Tuhan menghendaki kebaikan-kebaikan.
Menurut Mu’tazilah, jika Tuhan menghendaki kebaikan, maka Dia harus memberikan
sarana-sarana kepada manusia, bagaimana harapan-Nya itu bisa direalisasikan.
Artinya, Tuhan harus memberikan kebaikan, bahkan yang terbaik kepada manusia
agar mereka dapat merealisasikan kebaikan sebagaimana yang diharapkan-Nya.
B. Syi'ah
1. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran
Syi’ah
Syi’ah (Bahasa
Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam
Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti
juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah
Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam
Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut
aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah
berasal dari kata Bahasa Arab شيعة
Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.
"Syi'ah"
adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya
"pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat
khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali,
kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa
syi'atuka humulfaaizun).
Syi'ah menurut
etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga
bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib
sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.
Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami
perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah
percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber
pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam
setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi
Sunnah.
Secara khusus,
Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu
Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan
setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui
oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah
langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara
pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam
antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai
contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait,
sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan
perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal
dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte
dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
2. Sejarah munculnya Syi'ah
Para penulis
sejarah Islam berpendapat bahwa Syi'ah lahir langsung setelah wafatnya
Rosulullah SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin
dan kaum Anshor di balai pertemuan Saqifah bani Sa'idah. Pada saat itu bani
Hasyim menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib. Sedangkan sebagian
lainnya bependapat bahwa Syi'ah lahir setelah wafatnya Utsman bin Affan (tahun
644-656 M).
Syi’ah sebagai
pengikut Ali bin Abi Thalib a.s (imam pertama kaum Syi’ah) diketahui sudah
muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan
realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika
Rasulullah SAW mendapat perintah dari
Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada
mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia
akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s.
Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin
pergerakan di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya memperkenalkan
penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya
kepada para pengikutnya yang setia.
Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di
sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit
pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa.
Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah
diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAW di hari pertama
dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAW dan orang
yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Rasulullah SAW.
Kedua, berdasarkan
riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah. Rasulullah
SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan,
baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan
agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali
a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan
pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, ia pernah tidur di
atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah
SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud,
Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah
dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa
Ghadir Khum yang merupakan puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s.
Sebuah peristiwa yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak
Rasulullah SAW akan memberikan warna lain terhadap Islam.
3. Pola Pemikiran dan Doktrin Syi'ah
Syi’ah memiliki
beberapa doktrin diantaranya:
a. Ahlul Bait secara bahasa ahlul bait berarti
keluarga, ada 3 bentuk pengertian ahlul bait yaitu:
1) Mencangkup isteri-isteri Rosulullah
SAW dan seluruh Bani Hasyim.
2) Hanya Bani Hasyim.
3) Terbatas hanya Rosulullah SAW, Ali,
Fatimah, Hasan, Husein dan imam-imam keterunan Ali.
b. Al-Bada' , adalah keputusan Allah yang
mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkanNya dengan keputusan
baru.
c. Asura, berasal dari kata asyara yang
berarti sepuluh.Yang mempunya maksud yaitu hari peringatan wafatnya Husein bin
Ali.
d. Imamah (pemimpin).imamah meyakini bahwa
harus ada pemimpin-pemimpin setelah Rosulullah.
e. Ismah,berasal dari kata asama' yang berarti terpelihara dan terpelihara.
Doktrin ini meyakini bahwa imam-imam sepeti Rosulullah SAW telah dijamin oleh Allah terhindar dari
perbuatan salah dan lupa.
f. Mahdawiyah, meyakini bahwa akan datangnya
juru selamat pada hari akhir yang bernama Imam Mahdi.
g. Marja'yiyah, dari kata marja' yang artinya tempat kembali.
h. Raj'ah adalah keyakinan akan dihidupkannya
kembali sebagian hamba Allah yang paling sholeh dan yang paling durhaka untuk menunjukkan
kebesaranNya.
i. Taqiyah, yaitu sifat berhati-hati demi
menjaga keselamatan jiwa.
j. Tawasul,memohon kepda Allah dengan
menyebutkan pribadi atau kedudukan seorang imam, nabi, atau bahkan para wali
agar do'anya cepat terkabul.
k. Tawalli dan Tabarri, yang aartinya
mengangkat seorang sebagai pemimpinnya, tabarri yang berarti melepaskan diri
atau menjauhkan diri dari seseorang.
4. Sekte-sekte dalam Syi'ah
Semua sekte dalam
Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian
Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan
mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua
pendapat. Pendapat kelompok pertama
yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan
kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah,
putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan
antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para penulis
klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi,
para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu
Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.
a. Kaisaniyah
Adalah sekte Syi'ah
yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein
bin Ali. Nama Kaisaniyah diambil dari nama sorang bekas budak Ali bin Abi
Thalib, Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan
nama Kaisan.
b. Zaidiyah
Adalah sekte dalam
Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin
setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin
Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka
Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria,
yakni: keturunan Fatimah binti
Muhammad SAW, berpengetahuan luas
tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah
SWT dengan mengangkat senjata dan berani.
Sekte Zaidiyah
mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin
Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu
Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte
Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah.
Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan
pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat
dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak
sah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal
dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal
dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal
dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal
dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan
Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad
al-Baqir.
c. Imamiyah
Adalah golongan
yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai
imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka
tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi
mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau
ushuludin. Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar
adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua
adalah golongan Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan
Baghadad. Disebut juga Tujuh Imam.
Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali
bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan
imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal
dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal
dengan Hasan Al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal
dengan Husain Asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal
dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal
dengan Muhammad Al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga
dikenal dengan Ja'far Ash-Shadiq
7) Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa
al-Kadzim.
d. Kaum Ghulat
Merupakan golongan
yang berlebih-lebihan dalam memuja Ali bin Abi Thalib atau imam mereka yang
lain dengan menganggap bahwa para imam terdebut bukan manusia biasa, melainkan
jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Seorang ulama Ahlussunnah,
Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini hampir dapat
dikatakan telah punah.
Di dalam Syiah
Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah,
Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah,
Al-Kaisaniyah, dan lainnya.
Menurut
Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon
pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau
adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan
ketuhanan.
Sementara
Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang
menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam
Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin
kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.
Golongan
Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra.
Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.
Sementara Syiah
Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib
adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta
menguasai Mekah pada 930 Masehi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkataan
Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud
"meninggalkan", "menjauhkan diri". Mu’tazilah adalah satu
satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Mu’tazilah, oleh
lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari
halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang
Islam yang melakukan dosa besar
Diatara doktrin
mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang
dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al- Ushul al-Khamsah”. (1)
Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di
antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah
perbuatan jahat.
Implikasi dari bermunculannya
aliran kalam yang berbeda-beda tersebut dalam bidang hukum khususnya hukum
islam ialah adanya berbagai macam ikhtilaf
karena perbedaan sudut pandang dalam memahami hukum maupun metode yang
di anut atau dilalui dari masing-masing aliran kalam tersebut.
Ajaran dalam Syi'ah
amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui
ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam
golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam
bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat.
Hal ini menuntut
kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras
yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan
ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti
di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat
utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan
menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan
Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu,
sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini
dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain.
Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada
keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.
B. Saran
Berdasarkan
pembahasan di atas, hendaknya menyadarkan kita tentang keanekaragaman dalam
Islam. Faham-faham yang ada dalam agama Islam hendaknya juga menjadi penambah
khazanah pemikiran kita. Dalam pembahasan Ilmu Kalam ini, banyak faham-faham
yang menyalahi, tapi kita juga jangan terlalu menyalahkan mereka karena setiap
keyakinan yang mereka yakini mempunyai bukti atau argumentasi tersendiri, dan
juga setiap keyakinan yang telah terlahir tidak mudah dirubah begitu saja
disebabkan keyakinan adalah berasal dari sang pencipta.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosihon Anwar,
Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia,
2006). Hal. 49
Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal. 49.
Salihun A. Nasir, pengantar
ilmu kalam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991) hal. 95-96.
Sirajuddin Abbas,
I’tiqad Ahlussunnah wal jama;ah (Jakarta: Radarjaya Offset, 2008) hal. 170.
Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia 2006), hal. 56.
Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia 2006), hal. 56.
Wardani,
Efistemologi Kalam abad pertengahan, (Yogyakarta: LkiS, 2003) hal. 42.
Muhammad Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia , 1998) hal. 162.
Nasution, Harun, Theology Islam, UI Press,
Jakarta, cet.II, 1972, hlm. 11.
Abul A’la Al-Maudidi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj.
Muhammad Al-baqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar